Photos

3-tag:Photos-65px

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 04 April 2011

Komite Normalisasi, Oase Bagi Konflik PSSI

JAKARTA - Sejak Kongres PSSI di Pekanbaru, Riau, 26 Maret 2011 batal, persepakbolaan Indonesia dibayang-bayangi ancaman pembekuan dari FIFA. Intervensi yang dilakukan oleh pemerintah lewat keputusan Menteri Pemuda dan Olaharga, Andi Mallarangeng semakin membuat para pelaku sepakbola tanah air resah.

Klub-klub yang berlaga di Liga Super Indonesia (ISL) menjadi pihak yang paling deg-degan menanti keputusan FIFA. Mereka khawatir sanksi berupa pembekuan PSSI oleh FIFA berpotensi membuat kompetisi nasional kehilangan greget karena tidak lagi diperkenankan tampil di ajang Internasional.

Tim-tim yang sedang berlaga di ajang AFC Cup dan Liga Champions Asia pun akan kehilangan kesempatan untuk melanjutkan langkahnya. Ini berarti miliaran dana yang sudah dikeluarkan untuk tampil di laga-laga sebelumnya akan terbuang percuma. Selain itu, kesempatan pemain-pemain untuk merasakan atmosfer laga internasional juga terhalangi.

Beruntung FIFA ternyata memilih jalan lain dalam menyelesaikan konflik PSSI. Bukan membekukan PSSI seperti yang kerap dilakukan terhadap anggotanya yang bermasalah, FIFA justru menerapkan pasal 7 ayat 2 statuta FIFA yang isinya adalah memberi mandat kepada komite darurat FIFA untuk mengambil alih PSSI dan membentuk Komite Normalisasi.

Komite Normalisasi --beranggotakan insan-insan sepakbola yang tidak ingin maju dalam pencalonan pengurus PSSI-- bertujuan untuk menggelar Kongres pemilihan pengurus baru PSSI dan menghentikan Liga Primer Indonesia (LPI) yang digagas oleh konglomerat Arifin Panigoro.

Dalam situs resminya, FIFA juga menegaskan bahwa empat kandidat ketua umum PSSI yang sebelumnya dianulir oleh Komite Banding tidak boleh mencalonkan diri sebagai ketua umum lagi. Mereka adalah Nurdin Halid, Nirwan Dermawan Bakrie, Arifin Panigoro, dan George Toisutta.

Meski diatur dalam statuta FIFA, langkah ini sebenarnya kurang populer. Menurut Kolomnis asal Australia, Jesse Fink dalam sebuah kolomnya di ESPNSTAR, FIFA biasanya tak mau repot untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di internal anggotanya.

Dalam menghadapi konflik internal asosiasi sepakbola, FIFA akan menjatuhkan sanksi berupa pembekuan status keanggotaan asosiasi tersebut. FIFA baru bersedia bertemu mereka setelah asoasiasi yang bersangkutan telah menyelesaikan masalahnya sendiri.

Meski demikian, langkah ini merupakan langkah yang ideal bagi penyelesaian konflik PSSI. Kehadiran Komite Normalisasi setidaknya tidak akan mematikan kompetisi nasional karena komite ini diberi mandat oleh FIFA untuk menjalankan roda organisasi PSSI selama masa transisi.

Artinya kompetisi nasional dan internasional yang melibatkan Indonesia akan tetap berjalan dengan kehadiran komite ini. Timnas yang akan tampil di Pra Olimpiade dan SEA Games 2011 juga tetap bisa dinimkati oleh masyarakat Indonesia yang sebenarnya sudah mulai muak dengan konflik yang terjadi di jajaran para pimpinan di negeri ini.

Tak hanya itu, Komite Normalisasi ini juga setidaknya menjadi penengah konflik kepentingan partai politik yang selama ini mewarnai PSSI. Setidaknya hasil kerja Komite Normalisasi ini bakal bisa diterima semua pihak yang benar-benar menginginkan kemajuan sepakbola nasional.

Bravo Sepakbola Nasional!!!

Selasa, 29 Maret 2011

Catatan Sepakbola


Konflik PSSI, Kenapa Bukan FIFA Saja yang Turun Tangan?
JAKARTA - Kisruh yang melanda Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) semakin rumit ketika pihak-pihak yang terlibat di dalamnya sama-sama tidak punya kemampuan dalam menyelesaikan persoalan. Bayang-bayang pembekuan oleh FIFA kini tinggal menunggu waktu. Lantas, masihkah ada cara lain yang bisa menyelamatkan sepakbola Indonesia?

Sebagai buntut batalnya Kongres PSSI di Pekanbaru, Riau, 26 Maret lalu, pemerintah melalui Menteri Pemuda dan Olahraga (Menteri) Andi Alvian Mallarangeng, mengeluarkan 14 butir keputusan.Salah satu poin terpenting dari keputusan itu adalah tidak mengakui lagi PSSI di bawah kepemimpinan Nurdin Halid. Menpora juga meminta pemerintah di pusat hingga daerah dan Kepolisian Republik Indonesia untuk tidak memberikan bantuan dan fasilitas kepada PSSI di bawah Nurdin.

Pemerintah lewat Menpora juga menghentikan bantuan dana kepada PSSI. Sementara untuk kompetisi nsaional kini diambil alih oleh KONI/KOI bekerjasama dengan pengprov PSSI PSSI dan klub-klub yang bersangkutan. Sedangkan persiapan timnas jelang SEA Games 2011 diserahkan kepada Program Indonesia Emas (Prima).

Keputusan untuk melucuti PSSI jelas-jelas bentuk intervensi pemerintah. Meski langkah ini sangat ditabukan FIFA, Andi dengan penuh percaya diri mengaku punya wewenang untuk melakukannya sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia.

Langkah pemerintah tak membuat Nurdin ciut. Pria yang sudah dua periode menjabat sebagai ketum PSSI itu tetap yakin dirinya berada di jalur yang benar sesuai dengan Statuta FIFA dan PSSI. Sebaliknya Nurdin justru melancarkan serangan balik dan meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencopot Andi dari jabatannya.

Perseteruan pemerintah dan PSSI ini tentu saja membuat permasalahan semakin bertambah parah. Padahal kedua pihak juga sama-sama punya kelemahan dalam menjalankan tugasnya. Keputusan pemerintah untuk melucuti PSSI akan diterjemahkan bentuk intervensi pemerintah yang selama ini bertentangan dengan statuta FIFA.

Pembekuan PSSI dari keanggotaan FIFA menjadi resiko dari langkah ini. Beberapa negara seperti, Yunani, Brunai Darussalam, Iraq, dan beberapa negara lainnya pernah menjadi korban kebijakan pemerintah yang telah mencampuri urusan rumah tangga asosiasi sepakbola di negara-negara itu.

Mengikuti langkah PSSI yang ngotot ingin menggelar kembali Kongres paksa kegagalan Kongres Pekanbaru, Riau juga setali tiga uang. Citra yang buruk dari status quo dalam mengelola sepakbola nasional membuat publik tak akan percaya dengan apapun yang menjadi hasil dari Kongres ini nanti.

FIFA juga mulai tidak percaya kepada PSSI Terbukti, dalam email yang dikirimkan kepada beberapa media di Indonesia termasuk VIVAnews.com, FIFA mulai memojokkan PSSI. Lewat emailnya, FIFA menyatakan kalau ada upaya dari pimpinan PSSI untuk menghalang-halangi langkah delegasinya, Frank Van Hattum menuju lokasi Kongres. FIFA juga menilai berita yang mengatakan bahwa keputusan membatalkan Kongres adalah instruksi FIFA sebagai sebuah kebohongan. FIFA selanjutnya menunggu laporan lengkap dari wakilnya pada Kongres tersebut. Selanjutnya FIFA akan menyerahkannya kepada lembaga yang berkompeten untuk kemudian diproses lebih lanjut.

Sebelumnya, masih banyak langkah PSSI yang juga menyisakan tanda tanya. Mulai dari banyaknya koreksi yang terdapat pada Peraturan Organisasi (PO) Kongres hingga proses administrasi yang tak berjalan ideal. Upaya ini dianggap banyak pihak sebagai langkah PSSI dalam mempertahankan status quo.

Selain pemerintah dan kubu status quo, pihak ketiga yang juga ikut bermain dalam kisruh PSSI adalah Komite Penyelamat Persepakbolaan Nasional (KPPN). Komite yang mengklaim memiliki 87 anggota pemilik suara sah PSSI tersebut menjadi aktor utama kisruh yang melanda Kongres, 26 Maret lalu.

Tak ada asap kalau tak ada api, begitu anggota KPPN ini membela diri atas terjadinya kerusuhan di depan pintu masuk ruang Kongres. Sekretaris Pengprov Riau, Usman Fakaubun yang juga anggota KPPN mengatakan bahwa kisruh terjadi karena akumulasi kekecewaan para pemilik suara yang dipersulit ketika hendak masuk ruang Kongres.

KPPN juga menjadi motor dalam Kongres lanjutan yang tidak dihadiri oleh pengurus PSSI.Usman sendiri terpilih sebagai pimpinan sidang yang akhirnya mengangkat tujuh anggota Komite Pemilihan dan tiga anggota Komite Banding Pemilihan. Kongres yang diklaim diikuti oleh 78 anggota PSSI pemilik suara yang sah ini juga menghapus seluruh sanksi yang telah dijatukan oleh PSSI kepada beberapa anggotanya.

Lantas pantaskah manuver KPPN ini dijadikan alternatif penyelesaian kisruh PSSI? Menilik situasi arena di arena Kongres , jawabannya tentu saja masih ibarat jauh panggang dari api. Pasalnya, di lapangan, kisruh justru melibatkan orang-orang berambut cepat yang bukan merupakan bagian dari peserta Kongres.

Belum lagi kehadiran aparat berseragam menjadi pemandangan yang tak lazim dalam sebuah kongres sipil. Artinya manuver KPPN dengan mengambil alih Kongres boleh dikatakan tidak independen dan rentan ditunggangi oleh pihak-pihak yang punya kepentingan dalam suksesi ketua umum PSSI. Hasil Kongres versi KPPN juga bakal sulit mendapat lampu hijau dari FIFA mengingat prosesnya yang tidak sesuai aturan.

Salah seorang wartawan olahraga dari Australia, jesse Fink lewat kolomnya di ESPNSTAR.Com menilai kondisi ini akan sangat merugikan persepakbolaan di Indonesia. Menurutnya, kegagalan para pimpinan dalam mengelola sepakbola di Indonesia tak seharusnya mengorbankan insan-insan sepakbola yang ada di Indonesia.

Lewat kolomnya, Jesse kemudian mengusulkan sebuah langkah baru-tak hanya di Indonesia tapi di persepakbolaan dunia. Ya, Jesse meminta agar FIFA yang merupakan induk olahraga sepakbola dunia ikut turun tangan dengan memberi mandat kepada komite penyelamat untuk mengambil alih kepengurusan PSSI serta mengirimkan seorang adminitrator yang bertugas memulihkan kembali integritas dan ketertiban sepakbola Indonesia. Menurutnya langkah ini cukup logis mengingat cacat yang di tubuh PSSI juga ikut mencoreng wajah FIFA sebagai induk asosiasi sepakbola dunia.

Meski diatur pada statuta FIFA pasal 7 ayat 2, langkah ini jarang sekali dilakukan oleh FIFA. Maklum selama ini, FIFA terkesan tak mau repot mengurusi konflik yang melanda anggotanya. Organisasi yang bermarkas di Zurich, Swiss tersebut kerap membekukan para anggotanya yang bermasalah dan baru mau ‘bertemu ‘ lagi setelah masalah mampu diselesaikan oleh federasi atau asosiasi yang bersangkutan.

Meski demikian, usulan ini patut dicoba mengingat banyak pihak di Indonesia yang selama ini mengaku punya akses ke FIFA. Mulai dari pejabat PSSI sendiri, Ketua KONI/KOI, bahkan wakil pemerintah, Dubes Indonesia untuk Swiss, Djoko Santoso juga pernah bertemu dengan Presiden FIFA, Joseph Sepp Blatter.

Daripada berdebat mengenai terjemahan pesan yang disampaikan FIFA, ada baiknya ketiga elemen ini bertemu FIFA untuk mengajukan langkah alternatif usulan Jesse. Setidaknya, hasilnya akan lebih bisa diterima oleh publik sepakbola tanah air.

Langkah ini akan membuat sepakbola Indonesia tidak mati suri. Kompetisi akan tetap jalan, tim nasional Indonesia tetap bisa bertarung di ajang internasional dan pada saat yang bersamaan, konflik yang melanda PSSI juga dibenahi oleh orang-orang yang setidaknya bukan bagian dari status quo, pemerintah, dan pihak ketiga yang rentan ditunggangi oleh pihak-pihak yang juga haus kekuasaan di sepakbola nasional.